Beranda | Artikel
TINJAUAN MODERAT TENTANG HUKUM SYARIAT
Selasa, 5 Juni 2012

TINJAUAN  MODERAT TENTANG HUKUM SYARI’AT

Oleh: Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA

  • Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Bijaksana dalanm segala keputusan-Nya dan Maha Adil dalam segala hukum-Nya.

Selawat dan salam buat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diutus Allah untuk menyampaikan hukum-hukum-Nya kepada umat manusia serta untuk menegakkan keadilan ditengah-tengah umat manusia.

Tulisan ini mengupas sekilas tentang segi-segi pentingnya menjalankan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena Islam diturukan Allah untuk mengatur segala hal yang berhubungan dengan persoalan hidup manusia. Bagi orang yang mau mendalami ajaran Islam dengan benar akan mendapatkan apa yang penulis katakan dengan jelas.

  • Pengertian Syari’at

Syari’at dalam pengertiannya dapat digunakan dalam beberapa makna:

  1. Digunakan untuk menyebutkan agama secara keseluruhan, maka dikatakan: Syari’at Islam.
  2. Digunakan untuk menyebutkan tentang hukum-hukum, baik hukum pidana dan perdata maupun ibadah dan mu’amalah secara umum. maka dikatakan: Pokok isi Al Qur’an terdiri dari; aqidah (keyakinan), syari’at (hukum-hukum) dan akhlak (budi pekerti). Dalam pengertian ini kata syari’at sinonim bagi kata fiqih
  3. Digunakan untuk menyebut hukum hudud semata (pidana), istilah ini lebih dominan dipakai oleh kelompok-kelompok Islam yang beraliran politik. Hal ini kita lihat dalam penilaian mereka terhadap orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka dianggap tidak berjuang menegakkan syari’at. Sekalipun dalam kenyataannya orang tersebut berjuang mengakkan Islam dengan berdakwah sesuai dengan metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mungkin bisa dikafirkan karena tidak ikut pemahaman dan metode mereka dalam menegakkan syari’at. Seperti dengan cara membangkang dan melawan penguasa.

Untuk menentukan makna dari kata syari’at tersebut bergantung kepada posisi penggunaannya dalam sebuah susunan kalimat.

Segi-Segi Pentingnya Menjalankan Hukum Islam

Sesungguhnya menjalankan hukum Islam adalah merupakan suatu hal yang amat peting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dewasa ini. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa segi:

 

Al Qur’an adalah pedoman hidup yang sempurna

Kitab suci Al Qur’an adalah sebaik-baik pedoman bagi manusia dalam mencapai kebahagian. Karena ia diturunkan oleh Zat Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksna, yaitu Allah Yang Maha Adil dalam segala hukum-Nya. Seandainya berkumpul seluruh para pakar hukum di dunia untuk menandingi satu hukum yang disebutkan dalam Al Qur’an, niscaya mereka tidak akan mampu. Al Qur’an tidaklah semata mengatur hubungan pertikal dengan Allah, akan tetapi juga mengatur berbagai hal yang dibutuhkan manusia dalam perkara duniawi. Hukum Allah adalah hukum yang terbaik dari segala hukum buatan manusia. Demikian pula Hukum Allah adalah hukum yang paling adil dari segala hukum yang ada di dunia.

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ [المائدة/50]

“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Bila hukum Al Qur’an dilaksanakan dalam kehidupan manusia, niscaya kehidupan mereka akan mendapat keberkahan dan rahmat dari Allah. Karena Al Qur’an adalah kitab yang membawa keberkahan dan rahmat untuk manusia.

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ [الأنعام/155]

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat”.

Keadilan Al Qur’an tidak terbatas untuk orang-orang yang beriman dengan Al Qur’an tersebut, akan tetapi mecakup seluruh manusia. Oleh sebab itu tidak perlu ada kecemasan dari orang-orang non muslim terhadap hukum Al Qur’an tersebut.

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ [المائدة/8]

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dari sini terjawab kesangsian terhadap penerapan hukum Islam, dimana sebahagian orang takut akan terjadi penindasan terhadap umat lain. Sesungguhnya sejarah umat manusia telah membuktikan tentang keadilah Islam terhadap umat lain ketika Islam berkuasa di negeri Syam dan Andalus.

Al Qur’an adalah jalan keluar dari berbagai permasalahan yang terjadi

قال الشافعي: “فليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة إلا وفي كتاب الله الدليل على سبل الهدى فيها قال الله عز و جل {آلر كتاب أنزلناه إليك لتخرج الناس من الظلمات إلى النور بإذن ربهم إلى صراط العزيز الحميد} وقال تعالى {ونزلنا عليك الكتاب تبيانا لكل شيء وهدى ورحمة وبشرى للمسلمين} وقال تعالى {وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون}

Berkata Imam Syafi’i: “Maka tiada satupun permasalahan yang menimpa seseorang dari pemeluk agama Allah. Kecuali dalam kitab Allah ada dalil yang menjelaskan jalan petunjuk dalam permasalahan tersebut. Allah ‘Azza Wajalla berfirman:

{آلر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ} [إبراهيم/1]

“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.

Dan firman Allah Ta’ala lagi:

{وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ} [النحل/89]

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim”.

Juga firman Allah Ta’ala:

  {وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ} [النحل/44]

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.[1]

Demikian Imam Syafi’i mendapatkan Al Qur’an setelah beliau membaca dan menela’ah kandungannya. Pernyataan ini lahir dari beliau bukan sekedar polesan bibir dan wacana. Tapi berdasarkan fakta dan ilmu yang beliau meliki tentang Al Qur’an itu sendiri. Demikian pula para ulama-ulama dan setiap orang yang menela’ah dan memahami Al Qur’an dengan baik dan benar. Al Qur’an tidak hanya berbicara tentang urusan akhirat saja tapi justru menerangkan segala persoalan yang dibutuhkan manusian dalam kehidupan di dunia. Al Qur’an tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan pencipta mereka. Tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lain. Demikian pula Al Qur’an tidak sekedar mengatur hubungan antar umat yang seagama. Tetapi Al Qur’an juga mengatur hubungan umat yang berbeda agama. Isi Al Qur’an tidak terbatas pada ruang lingkup tertentu yang dibatasi oleh masa dan tempat. Akan tetapi isi Al Qur’an kompleks dan global, Al Qur’an mengatur segala aspek sisi kehidupan manuisa dalam segala kondisi dan situasi. Al Qur’an mengatur hubungan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana ia mengatur hubungan antara sesama pribadi masyarakat. Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya.

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا} [النساء/59]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Sudah semestinya kita menyelesaikan segala persoalan diantara kita dan persoalan negara ini dengan ajaran Al Qur’an. Karena Al Qur’an tidak sebagaimana yang dikenal oleh kaum liberal dan sekuler hanya sekedar mengatur persoalan rumah tangga dan persoalan beribadah dimesjid semata. Mereka menganggap Islam tidak punya konsep dalam mengatur kehidupan bernegara yang majemuk dan plural dalam berbagai hal. Anggapan ini lahir dari orang yang buta tetang Al Qur’an dan sejarah Islam. Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya:

{مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآَبَائِهِمْ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ إِنْ يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا} [الكهف/5]

“Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta”.

Kewajiban berhukum dengan apa yang diturunkan Allah

Banayak sekali ayat Al Qur’an yang  memerintahkan kita untuk mejalankan hukum yang diturunkan Allah dalam memutuskan berbagai perkara yang terjadi kehidupan kita. Berikut ini sebutkan beberapa ayat yang berkenaan dengan hal tersebut:

Allah berfirman:

{وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ} [المائدة/49]

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.

Ayat ini menjelaskan beberapa hal: (1) perintah tentang wajibnya memnyelesaikan perkara-perkara yang terjadi sesuai dengan apa yang diturunkan Allah. (2) larangan mengikuti hawa nafsu orang-orang yang menetang hukum yang diturunkan Allah. (3) akan ada sekelompok manusia yang berusaha memfitnah untuk memalingkan kita dari menjalankan hukum Allah. (4) ancaman Allah terhadap orang yang berpaling dari menjalankan hukum yang diturunkan-Nya. (5) kebanyakan manusia senang berbuat kefasikan dengan cara menolak hukum yang diturunkan Allah.

Dan firman Allah:

{اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ} [الأعراف/3]

”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”.

Ayat ini mengaskan agar kita mengikuti segala apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan menjauhi segala aturan yang menyelisihinya.

Juga firman Allah:

{إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا} [النساء/105]

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi pembela orang-orang yang khianat”.

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengadili antara manusia sesuai dengan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Karena bila tidak mengadili sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, khuatir akan terjadi pembelaan terhadap orang-orang yang khianat.

Allah melarang kita untuk ragu-ragu dalam menjalankan hukum-Nya, karena kebenaran hukum Allah itu telah diakui oleh para Ahli kitab sekalipun. Sebagaimana firman Allah:

{أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا وَالَّذِينَ آَتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ} [الأنعام/114]

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu”.

Keraguan dalam menjalankan apa yang diturunkan Allah, akan membawa malapetaka dalam kehidupan kita. Sebagaimana firman Allah:

{وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ} [الزمر/55]

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu[1315] sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.

Ajaran Islam jangan dipilah-pilih

Allah menyuruh kita untuk masuk kedalam Islam secar total, jangan kita memilah sebahagian ajaran Islam dan memilih bahagian yang lain. Seperti hanya mengambil ajaraan tentang ibadah dan akhlak saja, dan meninggalkan hukum-hukum lainnya. Menjalankan hukum syari’at Islam adalah bagian dari mengamalkan Islam itu sendiri

Allah menyuruh kita agar masuk kedalam Islam itu secara utuh dan total.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة/208، 209]

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

Demikian pula dalam hal mengimani Al Qur’an, kita wajib mengimani dan mengamalkannya dengan sempurna tanpa dipilah-pilih. Balasan bagi orang suka memilah-milih ajaran Islam, ia akan diazab di akhilat kelak dengan azab yang keras. Sebagaimana Allah berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85) أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ [البقرة/85، 86]

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong”.

Ayat ini adalah celaan terhadap orang-orang Yahudi dan orang-orang yang menyerupai prilaku mereka dalam beriman kepada kitab Allah. Mereka beriman pada sebahagiannya dan kafir terhadap bahagian yang lain. Mereka memilih mengimani dan mengamalkan hal-hal yang sesuai dengan hawa nafsu dan adat-istiadat mereka aja, adapun selainnya mereka tolak .

Hukum Allah jangan ditolak dengan alasan kebudayaan, adat dan kebiasaan

Sebahagian diantara manusia ada yang menolak hukum Allah dengan alasan bertentangan dengan kebudayaan atau adat dan kebiasaan yang sudah mengakar dimasyarakat. Ini adalah alasan klasik yang selalu dipegang oleh orang-orang yang ingin menolak hukum Allah. Sebagaimana Allah sebutkan dalamm beberapa ayat Al Qur’an berikut ini:

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ} [البقرة/170]

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?.”

Dan firman Allah:

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ} [المائدة/104]

“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?”

Juga firman Allah:

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ} [لقمان/21]

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang diturunkan Allah.” Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?

 

Hukum orang yang membenci dan menolak hukum Allah

{ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ} [محمد/9]

“Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka”.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ [المائدة/44]

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ [المائدة/45]

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [المائدة/47]

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.

Bila hal yang mendasari seseorang tidak mau melaksanakan hukum Allah adalah kebencian terhadap hukum Allah itu sendiri. Maka hal tersebut bisa membawa kepada kekufurun orang tersebut. Demikian pula orang yang berasumsi bahwa hukum Allah tidak cocok untuk zaman sekarang, atau hukum selain hukum Allah lebih baik dari hukum Allah dan penerapannya boleh-boleh saja. Namun untuk menghukum sesorang itu keluar dari Islam perlu dipelajari terlebih dahulu tentang kede etik at takfiir yang dijelaskan oleh para ulama. Tidak serta merta seseorang dikafirkan tanpa memperhatikan kode etik yang sudah dijelaskan oleh para ulama Ahlussunnah dalam kitab-kitab mereka. Kemudian yang berhak menerapkan kode etik tersebut terhadap seseorang yang melakukan sebuah tindakan yang bisa mengeluarkannya dari Islam adalah para ulama yang berkompeten serta mendapat mandat dari pemerintah.

Akan tetapi bila seseorang tidak berasumsi seperti hal-hal di atas, maka hal tersebut tidak membawa kepada kekufuran, akan tetapi ia telah melakukan salah satu dosa besar.

 

Hukum Allah adalah hukum yang paling adil dari segala hukum

Allah berfirman:

{أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ} [التين/8]

“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?

Dalam ayat yang lain:

{أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ} [المائدة/50]

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”

Setiap muslim meyakini bahwa Allah adalah Maha Tahu dan Maha Bijaksana dalam segala hukumnnya. Oleh sebab hukum-hukum Allah bila dilaksanakan akan melahirkan keadilan dan efek positif dalam kehidupan manusia. Seperti qishash, cambuk dan rajam, secara lahir manurut ilmu manusia yang dangkal seakan-akan kurang tepat untuk dilaksanakan. Akan tetapi dalam kenyataan negara yang menerapkan hukum tersebut, terbukti dapat menekan angka kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyakat dengan sekecil-kecilnya.

Menjalankan hukum Allah akan membuka pintu kemakmuran bagi sebuah bangsa

Allah berfirman:

{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}. (الأعراف: 96)

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Dalam ayat yang mulia ini Allah abadikan janjinya kepada manusia, bahwa seandainya mereka mau melaksanakan hukum-hukum-Nya di dalam kekuasaan mereka, niscaya Allah akan mebuka pintu-pintu kesejahteraan bagi rakyatnya.

Bahkan janjian yang sama juga Allah sampai kepada umat kepada pengikut Nabi Musa dan nabi Isa u. Sebagaimana firman Allah:

{وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ} . (المائدة: 66)

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka”.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} [النور/55]

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.

Dalam ayat ini Allah menjajikan kepada orang-orang mengesakan Allah dalam ibadahnya  kekuasaan, kejayaan dan kesentosaan.

Perlu diketahui bahwa yang disebut ibadah tidaklah terbatas pada shalat,  zakat dan puasa semata, akan tetapi mencakup penegakkan hukum Allah dalam segala urusan kehidupan umat manusia. Baik yang berhubungan dengan urusan pribadi dan keluarga maupun urusan pemerintahan negara adalah bagian dari ibadah.

Menjalankan hukum Allah bagian dari mensyukuri nikmat kemerdekaan

Menjalankan hukum Allah adalah sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat kemerdekaan yang diberikan kepada bangsa ini. Sebagaimana tertuang dalam alinia ke tiga dalam pembukaan UUD 1945, bahwa bangsa ini mengakui dimana kemerdekaan adalah merupakan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa.

Maka dari itu kita semua, baik rakyat maupun penguasa, seharusnya benar-benar menyadari akan nikmat kemerdekaan yang diberikan Allah kepada bangsa. Betapa besarnya nikmat kemerdekaan tersebut, hanya dengan bersenjatakan bambu runcing mengusir penjajah yang memiliki pasukan yang terlatih dan senjata yang lengkap. Maka jikalau bukan karena pertolongan dan bantuan Allah, niscaya kemerdekaan tersebut tidak akan pernah diraih bangsa ini.

Betapa banyaknya para kiyai dan santri yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini! Apa yang telah kita berikan untuk menhargai jasa-jasa mereka? Bukaankah mereka mengorbankan jiwa dan raga mereka demi untuk mempejuangkan Islam? Bukan untuk mengejar pangkat dan jabatan. Saatnyalah bangsa ini menghargai perjuangan mereka dengan merealisasikan cita-cita mereka, yaitu tegaknya syari’at Allah di bumi pertiwi ini.

 

Konstitusi menjamin kemerdekaan menjalankan ajaran agama

Dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.

Dalam pasal ini jelas sekali ditegaskan tentang kebebasan menjalankan ajaran agama bagi setiap pemeluknya. Dan tiadak ada pengecualian terhadap ajaran tertentu dalam agama tertentu. Menjalankan hukum Islam adalah bagian dari ajaran Islam yang diperintahkan Allah yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya. Jika hal itu dilarang berarti umat Islam belum memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dengan sepenuhnya dalam menjalankan ajaran agama mereka. Berarti UUD 1945 belum dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya oleh bangsa kita.

 

Menjalankan hukum agama adalah pesan tertulis dalam konstitusi

Sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 alinia ke empat: “Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa…”.

Kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa “Negara berdasar atas Kethanan Yang Maha Esa”.

Apa maksud para pendiri bangsa kita menjadikan “Kethanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dari Pancasila? Maskudnya adalah agar hukum Tuhan dijadikan sebagai sumber utama dalam segala aspek kehidupan bangsa ini. “Dalam kaitan dengan tertip Hukum Indonesia maka secara material nilai Ketuhanan Yang Maha Esa harus merupakan sumber bahan dan sumber nilai bagi hukum positif di Indonesia”. (Kaelan, Yogyakarta: 2008).

Bahwa pendidikan adalah untuk mencetak manusia yang bertaqwa kepada Allah. Sebagaimana disebutkant dalam pasal 31 ayat 2 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya dalam ayat 5 dijelaskan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjujung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa….

Hal ini berarti bahwa nagara menjunjung tinggi nilai-nalai dan norma-norma yang datang dari Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaran negara harus sesuai dengan hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuahan. Nilai-nilai yang berasal dari Tuhan pada hakikatnya adalah merupakan hukum Tuhan yang merupakan sumber material bagi segala norma, terutama Hukum positif di Indonesia. (Kaelan, Yogyakarta: 2008).

Disini dapat kita pahami bahwa negara kita bukan berpaham komunis yang anti Tuhan dah hukum Tuhan. Dan bukan pula negara liberal yang memberi kebebasan warganya untuk menilai dan mengkritik agamanya, misalnya tentang Nabi, Rasul, Kitab Suci bahkan Tuhan sekalipun. (Kaelan, Yogyakarta: 2008). Demikian pula bahwa negara kita bukanlah negara sekuler yang memisahkan norma-norma hukum positif dengan nilai-nilai dan norma-norma agama.

Apakah di Indonesia sudah ditegakkan syari’at?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tergantung kepada pengertian dan makna dari kata syari’at yang kita sebutkan di awal tulisan ini. Jika syari’at diartikan dengan ajaran Islam secara keseluruhan atau diartikan dengan syari’at sinonim bagi kata fiqih. Maka jawabannya adalah sesunggunya sebahagian besar syari’at telah tegak di Indonesia, namun secara kesuluruhan belum. Seperti shalat, infaq, sadaqah, zakat, puasa, haji, membangun masjid,  dan seterusnya. Ini semua adalah syari’at.

Akan tetapi bila syari’at diartikan dengan Hukum Hudud maka jawaban dari pertanyaan di atas adalah negatif. Walaupun demikian halnya bukan berarti hukum syari’at yang telah dijalankan menjadi batal atau tidak terima Allah. Dan itu juga bukanlah berarti bahwa meninggalkannnya tidak berdosa, akan tetapi tidak membuat pelakunya keluar dari Islam. Selama ada semangat dan niat serta upaya untuk mengingikan agar dijalankannya syari’at itu secara utuh. Namun kondisi dan kemampuanlah yang membatasi  untuk menjalankannya. Terkhusus masalah menegakkan hukum Hudud yang berkewajiban menjalankannya adalah penguasa, adapun rakyat dan ulama hanya sebatas memberikan masukan dan nasehat dengan cara baik. Hal tersebut-pun tidak bisa dijadikan alasan untuk membangkang kepada penguasa apalagi sampai berupaya untuk menumbangakan dan mengkudeta kekuasaan yang sah.

 

Apa upaya untuk menyempurnakan penegakkan hukum Allah di tengah-tengah kaum muslimin?

Upaya untuk menyempurnakan penegakkan syari’at di tengah-tengah kaum muslimin adalah dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu dari diri sendiri. Artinya hendahnya sertiap pribadi muslim memulai penegakkan syari’at tersebut dari diri dan keluarga masing-masing. Kemudian di lingkungan tempat ia bekerja dan komunitasnya. Dengan demikian sedikit demi sedikit, secara beransur-ansur syari’at tersebut akan tegak dalam kehidupan kita.

Sebagaimana pesan Syaikh Nasiruddin Al Albany salah seorang ulama hadits abat ini: “Tegakkanlah syari’at islam itu dalam diri kalian, niscaya Allah akan menegakkannya di bumi kalian”.

Upaya penyempurnaan penegakkan syari’at dalam negara kita, bagaikan seorang yang mau memperbaiki bangunan rumahnya yang rusak. Maka tidak mungkin ia menghancurkan rumahnya secara kesesluruhan kemudian dibangun baru lagi. Karena bila demikian halnya, ia dan kelurganya akan kehilangan tempat tinggal . Disamping itu ia harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membangunnya lagi. Nah! bagaimana kalau rumah itu rusak lagi, apakah setiap ada kerusakan pada rumahnya akan dia hancurkan selalu, kemudian baru dibangun lagi? Sesungguhnya orang yang memiliki akal sehat tidak akan melakukan itu.

Kemudian dalam memperbaiki kerusakan harus ada prioritas, jangan sembrono dengan semaunya. Karena bila demikian halnya pekerjaanya akan sia-sia. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dakwah beliau. Demikian pula nabi-nabi sebelumnya. Saat Rasulullah berdakwah di Makkah tidak pernah menyuruh para sahabat untuk merusak dan menghacurkan rumah tokoh-tokoh kafir Quraissy. Apalagi menculik dan membunuh. Tapi beliau memulai dari menanamkan keimanan terlebih dulu.

Artinya cara-cara kekrasan dan anarkis tidak elegan untuk ditempuh dalam menegakkan syari’at. Karena menupas kemungkaran tidak boleh dengan cara yang mungkar pula. Dan menegakkan yang ma’ruf harus dengan cara yang ma’ruf pula. Oleh sebab itu tidak dibenarkan dalam agama kita demi untuk membantu anak yatim kita mencuri dan menipu. Untuk contoh-contoh tentang hal tersebut amat banyak dalam agama kita.

Wallahu A’alm bish Shawaab


[1]  Lihat: “Ahkaamul Qur’an”: 21.


Artikel asli: https://dzikra.com/tinjauan-moderat-tentang-hukum-syariat/